Blog Cantona

Blog Cantona

Minggu, 11 Januari 2009

Sang Mata Elang


Pangeran mata elang

Dusun Kedungdang pekat malam itu. Pohon-pohon gayam yang menyelimutinya menampakkan bayang-bayang kelam, juga pohon kepel, juga trembesi dan asem. Hanya suara kelelawar menggoyang-goyang buah sawo di pohonnya yang juga gelap. Mungkin akan hujan, mungkin juga tidak, Kedungdang selalu memberikan ketidakpastian, jika hujan hendak turun tiba-tiba mendung pergi seketika, jatuh di tempat lain. Orang selalu bilang orang-orang tua di dusun Kedungdang adalah orang-orang sakti yang setengah dewa, bisa menjadi dukun penolak bala, apalagi hanya hujan, badai dan banjirpun bisa ditolak oleh para sakti di Kedungdang. Juga bisa didatangkan malapetaka itu jika mereka merasa perlu dalam sebuah perlawanan, tidak bisa disebut pawang hujan, karena merekapun juga pandai berperang, bertani dan menjadi pemuja dewa yang patuh.

Tak ada yang tahu, bahwa ada sekelebat bayangan melintas. Cepat seperti burung srikatan. Tak jelas wujudnya, tapi kilauan matanya seperti kilauan mata babi hutan tertimpa sinar bulan di musim kemarau. Tapi dengusnya adalah nafas manusia. Kemudian terdengar suara berderak. Ada pintu rumah terdobrak. beberapa keributan dan teriakan. Dan juga lengkingan. Dan kelebat bayangan dengan sangat cepat melesat pergi dari tempat itu. Dan sunyi kembali.

Pagi harinya, ketika matari belum penuh keluar dari timur. Ada teriakan, teriakan seorang warga dusun. Seketika tempat itu jadi hiruk. Warga dusun berdatangan melihat apa yang terjadi.

"Kenapa kamu, Wuryan?" tergopoh Sangate menjumpai Wuryan yang teriak. Tapi mulut Wuryan seperti terkunci, tubuhnya menggigil, hanya tangannya yang menunjuk-nunjuk ke dalam rumah. Warga dusun buru-buru menuju ke dalam rumah. Dan teriakan terkejut memenuhi ruang dalam rumah itu.

Kaki Sangate menginjak darah dan matanya melihat tiga tubuh tanpa kepala tergeletak.

"Hahh, Sagotri! Ini tubuh Sagotri!" teriak Sangate.

"Yah, ini tentu istri dan anaknya! kata yang lain.

"Tapi dimana kepalanya?!"

Tak ada yang menjawab, sesaat mereka terlolong-lolong melihat pemandangan itu. Tak pernah terbayangkan pada benak mereka bahwa hal ini bisa terjadi di dusunnya yang tersohor penuh orang sakti itu.

Dusun Kedungdang menjadi senyap, seakan kehilangan kepercayaan dirinya. Sangate berusaha menenangkan dirinya sendiri, sekaget apapun dia harus segera bertindak, sebagai kepala dusun dia harus bisa menahan diri, supaya warganya juga tetap dalam kendali. Pelan hampir berbisik doanya menyusup ke dalam dinginnya pagi, melayang menuju langit mungkin menembus awan-awan kemerahan di timur karena sang surya terbiaskan di sana.

"Ohh...Sang Hyang Whisnu, petaka apa yang ada ini, apakah Kalana berhasil menembus tumbal dusun ini, kami tak pernah lihat tanda-tanda Ekal Purusalingga menampakkan diri. Kami juga tak melihat firasat Galempang dalam mimpi kami. Apakah laku Wirangi para Kala sudah demikian tinggi? Ohh...Sang Hyang Pemelihara Alam....berapa dupa saat Candhikala harus kami saji, untuk menebus kelalaian ini?"

Sangate membuka mata dari samadi doanya, kemudian dia pimpin warganya untuk ngeruwat tubuh-tubuh tanpa kepala itu. Sagotri adalah salah satu pande mumpuni di dusun itu, pamor keris ciptaannya tak bakal kuat ditatap oleh orang sembarangan. Kematian Sagotri serta istri dan anaknya bukan sekedar kehilangan bagi mereka. Tapi juga penghinaan dan tantangan. Warga dusun itu dalam diamnya mulai merawat jasat Sagotri, istri dan anaknya. Dalam pikiran mereka masing-masing tumbuh keyakinan bahwa ini adalah awal dari sebuah pertentangan yang sebenarnya lebih besar, nun jauh di luar sana, jauh dari dusun ini, di kota praja Bhumi Mataram.

Tahun ke 850 Masehi

Tanah Jawa redup dan remang. Anginnya tergope-gope menampar hutan-hutan di lereng-lereng gunung Merapi, gunung Merbabu, pegunungan Serayu, Sindoro, Prau, Sumbing, Lawu, Ungaran bahkan sampai pegunungan Sewu di Gunung Kidul yang tandus. Inilah Bhumi Mataram, dalam kelangutannya tanah ini menjadi bukti bahwa Rakai Mataram Sang Maharaja Ratu Sanjaya telah mendirikan sebuah dinasti. Sebuah impian besar untuk menyatukan Jawa di bagian tengah ini menjadi satu kekuatan besar. Tapi setelah Maharaja Rakai Sanjaya mangkat dan digantikan Sri Maharaja Rakai Panankaran, awan kelabu mulai menggelayut di atas hamparan hijau tanah ini. Apalagi setelah Rakai Panunggalan, Rakai Warak dan Rakai Garung berturut-turut semakin surut kilau kerajaan Bhumi Mataram. Di sana di seberang bukit-bukit itu mulai merasuk pengaruh Kalana Sihwa, orang-orang Syailendra yang dirajai Balaputradewa itu semakin merangsek, merebut sedikit-demi sedikit daerah dan pengaruhnya. Orang-orang Mataram mulai bertanya-tanya inikah kebenaran kata-kata Sang Hyang Naradha saat membeberkan enam agama bahwa Kalana akan punya pengaruh di wilayah-wilayah yang menyembah Siwah.

"Ini tanda-tanda bahwa lelaku mesti dilakukan, Kedungdang yang kita banggakan sudah tersobek oleh tingkah polah orang-orang Kalana, Sang Hyang Bhrahma tidak akan membiarkannya, sekalipun Sang Hyang Whisnu diam saja," kata Buyut Bashutara kepada Sangate yang menghadap dengan kepala tertunduk dalam, di belakangnya ada Wuryan yang bersimpuh dengan pandangan menatap tajam ke tikar di lantai.

"Buyut, apakah ini pasti perbuatan orang-orang Kalana? Bukankah orang-orang Kalana itu dulunya juga masih ada hubungan darah dengan penguasa Bhumi Mataram ini, Buyut? Dan bukankah kakak perempuan Balaputradewa sudah menjadi permaisuri Sri Maharaja Rakai Pikatan, sesembahan kita, junjungan kita. Buyut?" Sangate memberanikan diri bertanya. Buyut Bashutara menarik nafas dalam, jambangnya yang putih beberapa kali tampak membiaskan sinar lampu senthir minyak kelapa di cagak tengah pendopo tua rumahnya itu. Sejenak laki-laki tua itu tampak merenung, beberapa kali tampak berdoa tak terucap.

"Semua kita ini bersaudara, dari asal keturunan umat manusia yang sama. Tapi waktu bisa merubah segalanya Sangate. Kita ingat peristiwa Bharatayuda. Mereka juga bersaudara, Sangate. Pandawa dan Kuhrawa itu satu wangsa, satu kakek. Kepentingan menjebak mereka dalam perseturuan. Kepentingan Kuhrawa adalah melestarikan kekuasaan, kepentingan Pandawa adalah melaksanakan Dharma. Saat ini, peristiwa itu akan terulang kembali. Tugas kita adalah membantu pihak yang melaksanakan Dharma."

"Lalu siapa yang melaksanakan Dharma, Buyut?" tanya Sangate ingin lebih tahu.

"Dharma lahir dari kepasrahan Sangate, bukan dari kehendak. Marilah kita lihat perkembangannya. Karena kita lahir di Kedungdang, dan Kedungdang berada di wilayah Bhumi Mataram, maka selagi raja kita masih dalam rengkuhan penataan Sang Hyang Whisnu, maka kita wajib mendukungnya, Sangate."

"Tapi kenapa yang dibunuh Sagotri, Buyut?" tanya Wuryan tiba-tiba.

"Karena Sagotri adalah seorang pande, Wuryan. Saya juga mendengar kabar bahwa pande Mantrani di dusun Plasajenar juga mati dengan kepala hilang, beberapa pembuat senjata lain di daerah Sela di antara Gunung Merapi dan Merbabu juga tiba-tiba hilang tak tentu rimbanya. Ada kemungkinan mereka dibunuh juga. Dengan membunuh pande, berarti negeri ini kehilangan orang-orang yang mampu membuat senjata, sehingga negeri ini menjadi lemah, Wuryan."

"Bukankah Buyut Bashutara dan buyut-buyut lain di dusun Kedungdang ini dan juga dahnyang-dahnyang di seantero negeri Mataram ini bisa menggunakan palpralampita untuk menghimpun kekuatan alam membinasakan mereka orang-orang Kalana yang keji itu, Buyut?!" sergah Wuryan yang tampak gemas.

"Palpralampita hanya digunakan jika seluruh lawan kita adalah musuh, Wuryan. Palpralampita juga tidak digunakan saat perang bharatayuda, karena di dalam Kuhrawa banyak juga orang-orang yang baik, resi, swami, parayogi dan pandhita, juga rakyat yang tak tau menau. Karena di dalam kelompok yang disebut lawan itu terdapat banyak orang yang sebenarnya tidak bersalah, balatentara yang hanya melaksanakan tugas. Palpralampita akan membunuh semuanya, takterkecuali, sebenarnya kekuatan itu adalah kekuatan Sang Hyang Wenang, dia bisa melakukan kesewang-wenangannya untuk menghapus segalanya. Sedang di pihak Balaputradewa belum jelas mana yang salah dan mana yang benar, Wuryan. Tidak mungkin palpralampita digunakan pada saat seperti ini"

Wuryan tampak mengangguk-angguk. Sangate juga memperlihatkan kerut wajah setuju. Terdengar pintu dalam rumah berderit dan terbuka. Seorang gadis, Jatuawitri salah seorang cucu Buyut Bashutara keluar membawa nampan, menyajikan wedang jahe dan wajik ketan. Seorang anak gadis yang sedang tumbuh menjadi prawan, keningnya bersih dan rambut yang tersanggul indah. Wuryan tak berani menatap gadis itu walau hatinya ingin.

"Silahkan, Paman Sangate, Kakang Wuryan, diminum dan dicicipi wajik hitam ini." kata gadis itu sambil tetap menunduk setelah selesai menyajikannya di atas bangku bundar di depan mereka.

"Terimakasih, ajeng, terimakasih." jawab Sangate.

Tapi sebelum mereka yang ada di situ menikmati wedang jahe dan wajik ketan hitam dari Jatuawitri, tiba-tiba terdengar suara kentongan sebuah gendhong titir. Sangate mendongakkan kepalanya airmukanya berkerut, Buyut Bashutara memandang keluar pendopo. Beberapa pemuda dusun Kedongdang tiba-tiba muncul dan merangsek masuk menghadap ke Buyut Bashutara.

"Ada apa, danang? Kalian terlihat tergesa?" tanya Sangate.

"Kami ingin melapor ke Buyut, Ki" kata salah seorang danang.

"Ya, ada apa?" tanya Buyut Bashutara.

"Binatang-binatang pada keluar lari tunggang langgang dari hutan Sabawana, tampak ketakutan menerjang pedhukuhan di sekitar hutan, menggasak tanah pertanian dan masuk ke dusun-dusun. membuat gerah warga desa, Buyut?"

"Hewan-hewan hutan?" tanya Sangate tak percaya.

"Iya, Ki!"

"Kamu sudah lihat sendiri?" selidik Wuryan.

"Tidak hanya lihat, Wur. Perutku terluka tertabrak celeng hutan." kata salah satu danang sambil membuka bajunya memperlihatkan bekas luka tertabrak celeng hutan. Jatuawitri yang masih di situ tampak ngeri melihat darah yang membasahi baju dan luka di perut pemuda dusun itu.

"Eyang, ada apa ini Eyang?" Jatuawitri memegang tangan kakeknya karena takut mulai menggerayangi hatinya.

"Sangate dan Wuryan, cepatlah kalian lihat ke sana. Siapa yang membuat onar. Secepatnya laporkan kepadaku lewat pameling?" perintah Buyut Bashutara.

"Baik, Buyut. Kami segera pergi."

"Cepatlah!"

Sangate dan Wuryan segera keluar dari pendopo, diikuti para pemuda yang melapor. Tak lama kemudian terdengar kuda-kuda mereka sudah berlari. Sangate dan Wuryan menerjang malam yang mulai menggelayut di Kedungdang. Beberapa gonggong anjing liar terpotong-potong menyedak-nyedak. Mungkin menyambut hewan-hewan hutan yang gedandapan salang tunjang menyerbu dusun. Di langit ada beberapa bintang. Dan bulannya sabit.

"Masuklah!" perintah Buyut Bashutara kepada Jatuawitri. Gadis itu menurut, meninggalkan eyangnya yang sendirian di tengah pendopo. Terdengar suaranya lirih menggeresula, "Kakamas Bandung....", Buyut Bashutara pura-pura tak mendengar kata-kata cucunya itu. Nafasnya ditariknya panjang-panjang.

Sangate dan Wuryan memacu kudanya kian kencang. Menusuk gelapnya malam menuju hutan Sabawana, orang-orang di seberang hutan menyebut alas itu dengan nama Wanasaba. Ini adalah peristiwa pertama yang dialami Sangate, tidak pernah ada kejadian ini sebelumnya. Binatang-binatang liar di dalam hutan itu tak pernah keluar, tak pernah mengganggu kehidupan orang-orang di perkampungan sekeliling hutan itu. Ada rasa was-was dalam dada Sangate, bukan karena takut, tapi karena dialah yang bertanggung jawab terhadap keselamatan seluruh warga Kedungdang, selain Jagabaya, dirinyalah yang paling berbeban jika warganya mengalami kesusahan.

Wuryan mengikutinya dari belakang, laki-laki muda itu mencoba memusatkan perhatiannya pada gerak lari kudanya. Beberapa kali kudanya harus melompat karena jalan yang dilaluinya berlobang agak dalam. Tapi pikirannya tersingkap oleh hal yang lain, beberapa kali dia mencoba menepisnya, sesering itu pula dia teringatkan lagi. Bunga Kedungdang yang baru saja dilihatnya mengunjungi pikirannya, kuning langsat kulitnya, lentur gemulai tubuhnya, dan jatuhnya beberapa rambut di keningnya, tersapu oleh senyum yang menggores pekat dalam kelembutan gadis perawan cucu Buyut Bashutara yang bernama Jatuawitri. Hatinya berdegab-degab jika mengingatnya, sama seperti ketukan kaki-kaki kuda yang dia tumpangi itu memukul tanah. Tapi dia tak berani berharap.

Sangate dan Wuryan telah keluar dari dusun Kedungdang, melewati jalan kecil di tengah persawahan, udara menjadi lebih dingin, angin bertiup kencang, beberapa burung berkelepak terbang menjauh, dan deretan rusa menerabas sawah.

"Paman Sangate, rusa-rusa itu!"

"Ya, mereka gerombolan pertama yang kita temui!"

"Akan kemana mereka?"

"Tampaknya mereka tak tahu arah, Wuryan."

"Ya, sebab mereka tak pernah keluar hutan."

"Apakah ini akibat perbuatan orang-orang Kalana juga?" tanya Wuryan.

"Aku tak tahu, Wuryan. Mungkin. Tapi mungkin juga bukan."

Belum jauh dari tempat itu, tiba-tiba kecopak air sawah terdengar riuh, Sangate dan Wuryan melambatkan jalan kudanya. Ternyata suara itu berasal dari ayam-ayam alas dan pelung-pelung yang berlari berlawanan arah dengan arah jalan Sangate dan Wuryan. Sangate mempercepat laju kudanya, diikuti Wuryan, mereka merasa harus secepatnya sampai di hutan Sabawana.

Sebelum memasuki gumuk kecil, Sangate dan Wuryan melintas di kawasan perdu. Pohon serut menguasai daerah itu. Biasanya di pohon-pohon itu banyak berlindung ular-ular, terbukti banyak bekas kulit ular bergantungan di ranting-rantingnya setelah mlungsungi. Tetapi anehnya banyak juga pandan-pandan tumbuh liar di situ, sedang pandan biasa tumbuh di daerah pantai. Beberapa kali Sangate dan Wuryan menghentikan gerak kudanya, karena harus berhati-hati ketika berpapasan dengan babi-babi hutan, kerbau liar, banteng dan gerombolan asu ajak menerjang jalan-jalan sempit di sela-sela serut atau pandan, tunggang langgang lari menjauh dari arah yang dituju Sangate. Wuryanpun mulai merasa tidak enak dengan kudanya, dia berpikir ada yang aneh dengan kudanya, karena beberapa kali kaki kuda itu menghentak-hentak ke tanah dengan gelisah. Tapi mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan.

"Apakah ini merupakan sebuah jebakan, Paman? Orang-orang Kalana telah berada di dalam hutan itu membubarkan binatang-binatang, supaya kita orang-orang Kedungdang datang ke hutan itu dan mereka menyergap kita?"

"Aku rasa tidak, Wuryan. Kita lebih tahu hutan itu daripada orang-orang Kalana. Sebelum sampai ke hutan itu, warga dusun Tlagaluwih di seberang hutan akan mengirimkan pesan ke kita tentang kedatangan orang-orang Kalana. Kalaupun orang Kalana yang masuk ke hutan itu, jumlahnya takkan banyak, mungkin mereka menyusup melewati kali kecil yang membelah hutan itu, tetapi apakah mungkin sekelompok orang yang jumlahnya sedikit bisa membuat seluruh binatang di hutan itu lari ketakutan keluar hutan? Jika iya, ilmu apa yang dipakai?" kata Sangate seakan bertanya pada dirinya sendiri.

"Atau mungkinkah, ini ulah Nagaraja, naga besar masuk ke dalam hutan Sabawana untuk memangsa binatang-binatang di sana?" tanya Wuryan.

Sangate tertawa kecil mendengar pertanyaan Wuryan, mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak menuju geremang hutan pekat di malam hari itu.

"Ha..ha..Wuryan, Nagaraja itu tak pernah ada, itu hanya sebuah cerita, nenek moyang dulu mengira kalau bumi disangga oleh seekor naga besar. Jika ada lindu, gempa bumi, orang dulu mengira bahwa naga yang menyangga bumi sedikit bergerak. Tapi setelah agama hindu masuk ke tlatah jawa ini, cerita itu hilang begitu saja. Hanya kadang saja terdengar, sebagai dongeng masa lalu. Sebab bumi dan alam semesta ini jelas sekali diceritakan keberadaannya dalam bhagavatgita. Di dalamnya tak ada yang bernama Nagaraja. Nagaraja muncul di cerita lain dalam mahabarata-nya jawa, sebagai kakek dari Antareja, anak Bima. Atau sebagai guru dari prabu Anglingdharma, tetapi semua itu hanyalah cerita. Sampai saat ini belum ada yang bertemu dengan naga, ular bisa besar sekali, tetapi tetap ular ujudnya, bukan naga. Atau boleh jadi naga adalah sebutan lain dari binatang purba yang hidup sebelum adanya manusia, dan sekarang sudah punah tentunya" kata Sangate, semua pertanyaan Wuryan dirasakan oleh Sangate sebagai perasaan takut yang mulai merayap di dada Wuryan.

"Kamu jangan takut, Wuryan! Tak kan terjadi apa-apa dengan kita."

"Iya, Paman!" jawab Wuryan pelan, bagaimanapun ada rasa was-was di hati pemuda tampan itu, sekuat apapun dia mencoba menekan perasaannya itu. Tapi ketika ingatannya kembali ke kembang Kedungdang si Jatuawitri, dirinya menjadi malu, bagaimana mungkin dia mampu memimpikan cucu Buyut Bashutara itu jika dalam keadaan seperti ini saja dirinya masih merasakan takut. Maka ditegakkannya dadanya untuk memaksa keberaniannya pulih. Jalannya menjadi lebih bersemangat. Mereka menyeruak ilalang kering, kadang menyusup di bawah cabang-cabang pandan yang melintangi jalan.

Di ujung jalan setapak itu, Sangate tak lagi mampu melihat jalan, karena bayang-bayang pohon-pohon tinggi di pinggir hutan itu menghapus sinar bintang di langit yang kebetulan juga hanya sedikit. Tatapan matanya membentur pada gelap pekat semacam tabir hitam yang sangat dalam. Sangate berhenti sejenak, di belakangnya berdiri Wuryan yang juga termangu, hanya dengus nafasnya terdengar lebih cepat berpacu.

"Ambil upet di sakumu Wuryan, kita harus menyalakan oncor!"

"Baik Paman." jawab Wuryan. Tangannya mengambil upet di surjannya, sementara itu Sangate menarik oncor yang dia cangklongkan di punggungnya.

Tak lama kemudian Wuryan membuat api dengan upetnya, percikan mulai terlihat, semakin lama semakin besar, dan Sangate menyodorkan ujung oncornya ke api yang dibuat Wuryan. Dan seketika tempat itu menjadi lebih terang, walau jangkauan sinarnya tak lebih dari sepuluh jepaplangan tangan, tapi cukuplah sinar itu membantu perjalanan mereka.



1 komentar:

Cantona mengatakan...

crita n g ngambung x